Powered By Blogger

Jumat, 13 Januari 2012

ilmu kalam

BAB I
Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang
Kata Khalaf biasanya digunakan untuk merunjuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang pehakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan Kesucian-Nya.
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah uapaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memilki semangat ortodoks. Aktualitas Formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksonis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Karir pendidikan  Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.

1.2.       Rumusan Masalah
1.      Apa sebab Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah?
2.      Apa yang dijelaskan pada doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari pada poin melihat Tuhan ?
3.      Apa yang dijelaskan pada doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi pada poin pelaku dosa besar?
4.      Sebutkan Persamaan aliran Asy’ariyah dan Mutaridiyah ?

1.3. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sebab Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah.
2.      Untuk mengetahui isi doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari pada poin melihat Tuhan.
3.      Untuk mengetahui isi doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi pada poin pelaku dosa besar.
4.      Untuk mengetahui Persamaan aliran Asy’ariyah dan Mutaridiyah.




BAB II
Ahlussunnah Khalaf (Al-Asy’ari dan Al-Maturid)

2.1.    Pengertian
Kata Khalaf biasanya digunakan untuk merunjuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang pehakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan Kesucian-Nya.[1]
Adapun ungkapan Ahlussunnah (Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus.[2] Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah –sebagaimana juga Asy’ariyah-masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.
2.2.    Al- Asy’ari
2.2.1. Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.[3] Menurut beberapa riwayat , Al-Asy’ari lahir di Basharah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.[4]
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadist . ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seseorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. [5]Ibu Al-Asy’ari sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (W. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (W. 321H/932 M).[6] Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah . ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela aliranya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapn jamaah Mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.[7] Menurut Ibn Asakir yang melatar belakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya Rasulullah memperingatkannya agar meningglkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2.2.2. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah uapaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memilki semangat ortodoks. Aktualitas Formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksonis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.[8] Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini.
a.      Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan dengan kelompok mujassimah dan  musyabbihah yang berpendapat bahwa  Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan , kaki, telingaAllah atau Arsy atau Kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi kedua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat –sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan deingan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tiak berbeda dengan-Nya.[9]
b.      Kebebasan dalam Berhendak
Dalam hal apakah manusia  memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni          Jabariyah yang faktalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri,[10] Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya. Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
c.       Akal dan Wahyu Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah menakui pentingnya akal wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan konradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu , sementara Mu’tzilah mengutamakan Akal.[11]
d.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ri dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Quran. Mu’tazlah yang mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah Kalam Allah. Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim.[12] Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata , huruf,  dan bunyi, semua iyu tidak melekat pada esensi Allah dan Karenanya tidak qadim.[13] Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi  Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat.
Artinya :
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl (16) : 40)
e.       Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahariyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,[14] tetapi yidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi mana kala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia mnciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.        Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat Adil sehingga dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartiakan keadilan dari visi bahwa Allah adalah pmilik mutlak.
g.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.[15] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu , Al-Asy’ari berpendapat  bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
2.2.3. Karya Al-Asy’ari
Al-Asy’ari meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90 buah, dalam berbagai lapangan ilmu keislaman. Ia menolak faham-faham golongan materialist, anthropomorphis, khawarij dan golongan-golongan lain, juga menolak pikiran-pikiran Aritoteles. Akan tetapi sebagian besar aktivitas intelektualnya digunakan untuk menghadapi aliran Mu’tazilah seperti al-Jubba’i, al-Allaf dan sebagainya, bahkan ditunjukan terhadap dirinya sendiri ketika ia masih menjadi Mu’tazilah. Karangan-karangannya yang terkenal setidaknya ada tiga yaitu :
1.    Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-Musallin
Buku ini teriri dari tiga bagian; Tinjauan tentang golongan-golongan dalam islam, Aqidah aliran “ashab al-Hadis dan ahl al-Sunnah dan Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2.    Al-Luma’fi al-Radd’ala ahl az-Ziyang wa al-Bida
3.    Al-ibanah ‘an usul ad-Diyanah
Didalam ketiga buku yang dikarangnya itu tercermin sikap penentangannya terhadap Mu’tazilah terutama dalam buku Al-lumma’ dan al-ibanah. Tentang  Dzat dan sifat misalnya ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan Dzat-Nya , karena dengan demikian Dzat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan(‘ilm), tetapi Yang mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah Dzat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup , berkuasa, mendengar, melihat dan lain-lain.
2.3.    Al- Maturidi
2.3.1. Riwayat Singkat Al-Maturidi
          Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil didaerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, darah yang sekarang disebut Uzbekistan.  Tahun kelahirannya tidak diketahui secra pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/ 944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyar bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H Al- Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/ 847-861 M.
          Karir pendidikan  Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran pemikiran banyak diuangkan dalam bentuk karya tulis diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syara’i, Al-Jadl, Ushul Fi Ushul Ad-Din, Maqalat Fi Al –Ahkam Radd Awa ‘il Al-Abdilla li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-BA’ad Ar-Ba’ad Ar-Rawafi, dan Kitab Radd’ala Al-Qaramatah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aidah dan Syarh Fiqih Al-Akbar.
2.3.2. Tokoh-tokoh Maturidiyah
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Budzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), Pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafih.
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidk pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua permuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan , yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paaham-paham Al-Maturidi  dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
a.    Maturidiyah Samarkand
Dalam masalah teologi, Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan pemikiran Mutazilah. Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Bagi Al-Maturidi Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tahun mengetahui bukan dengan DzatNya. Tetapi dengan pengetahuanNya, dan berkuasa bukan dengan DzatNya tetapi dengan qadratNya. Dalam perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian Al-Maturidiyah mempunyai Faham Qadariyah. Kesamaan pendapat dengan Mu’tazilah terlihat dalam ajaran al-wa’d wa al-wa’id. Janji ancaman Tuhan tidak boleh tidak mesti terjadi kelak. Demikian pula ada kesamaan antara keduanya dalam masalah antropomorpisme.
Selanjutnya, terdapat empat masalah di atas, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengetahui baik dan jahat. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Al-Bazdawi yang mengatakan percaya kepadaNya dan berterima kasih kepadaNya, sebelum ada wahyu dalah wajib dalam faham Mu’tazilah. Al-Muturidiyah dalam masalah ini sepaham dengan Mu’tazilah. Demikian pula umumnya ulama Samarkand dan sebagian ulama Irak.
b.    Maturidiyah Bukhara
Maturidiyah Bukhara didirikan oleh murid Al-Bazdawi, yaitu Najm Al-Din Al-Nafsi (460-573), yang menulis Al-Aqoid Al-Nasfiyah. Al-Bazdawi dalam teologinya, tidak selamanya sepaham dengan gurunya Al-Maturidi. Antara Maturidi Samarkand dan Bukhara terdapat perbedaan yang berkisar pada persoalan kewajiban mengetahui Tuhan.  Maturidiyah Samarkand mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal, sedangkan Maturidiyah Bukhara tidak demikian.  Menurut Maturidiyah Bukhara, kewajiban mengetahui hanya dapat dicapai melalui wahyu. Demikian pula kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan jahat, tidak dapat diketahui dengan akal, melainkan dengan wahyu.
Aliaran Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah sebagai pnentang Mu’taziah kemudian dikenal dengan aliran ahlul Sunnah Wal Jamaah, karena mereka banyak menggunakan Hadits dalam beragumentasi, disamping akal, menggunakan Hadits mutawatir saja. Mu’tazilah hanya dianut sebagian kecil kaum muslim terutama kaum intelegensia.
2.3.3. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.  Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologi, Al-Maturidi medasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun, porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat dketahui denngan akal. Kemampuan akal dalam mengathui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar mansia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajjiban lainnya.[16]
Dalam masalah baik-buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik buruknya sesuatu itu terlepasa pada sesuatu itu ssendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik Dan buruknya sesuatu. Dngan kondisi demikian wahyu diperlukan sebagai pembimbing.[17]
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.        Akal dengan sedirinya hanya mengetahui kebaikans esuatu itu.
2.        Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3.        Akal tidak mengetahui kebaikan dankeburukan sesuatu, kecuali denganpetunjuk ajaran wahyu. [18]
b.    Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
c.       Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan diatas, bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta kehendak semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d.      Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti Sama, Bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pemikiran Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturdi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya, dan bukan pula lain dari esnsinya.
e.       Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuk-Nya, karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan didunia.
f.        Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qodim bagi Allah sedangka n kalam yang tersusun dari huruf dan suara dalah baharu (hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat denganya tidak dapat kita ketahui kecuali dengan suatu perantara.[19]
g.      Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang tidak kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendakna sendiri. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
h.      Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperrti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menururt Al-Maturidi akal memerlukan  bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya kepada akalnya.[20]
i.        Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia sudah mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat Dosa Syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan  menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik ) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
2.4.   Persamaan aliran Asy’ariyah dan Mutaridiyah
Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena sama-sama lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan Dzat-Nya tetapi mengetahui sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan Dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai as-salah wa al-‘Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Tahun yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhn dan hanya  Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat da wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an.
Artinya :”Wajah-wajah (orang-orang mu'min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.(QS. Al-Qiyamah :22-23)
Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlus sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa mazhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan :”Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.”
2.5.   Perbedaan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari  menganut pahama Qadariyah sedangkan Al-Maturidi menganut paham jabariyah. Sedangkan tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampuuntuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
Adapun dalam permasalahan janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahla sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.





BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
1.         Yang melatar belakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya Rasulullah memperingatkannya agar meningglkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2.         Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahariyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,[21] tetapi yidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi mana kala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia mnciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
3.         Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia sudah mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat Dosa Syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan  menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik ) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
4.         Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena sama-sama lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan Dzat-Nya tetapi mengetahui sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan Dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai as-salah wa al-‘Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Tahun yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.


DAFTAR PUSAKA


Mustopa. 2010. Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern. Cirebon : Nurjati IAIN-Publisher
Rosihin, Anwar dan Abdul Rozak. 2001. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia




[1] Abubakar, Salaf: islam dalam masa murni, Ramadhani , Solo, 1986, hlm.25.
[2] Jalal Muhammad Musa, Nasy’ah Al-Asya’irah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab Al-Lubhani, Beirut,1975,hlm. 15.
[3][3][3] Muhammad Imarah, Tyyarat Al-Fikr Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut,1911,hlm.163.
[4] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilm li Al-Malayin,`984, hlm. 497.
[5] Ibid., hlm. 491.
[6] Imarah,loc.cit
[7] Ahmad Hanafi Pengantar Theologi Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992, hlm. 104.
[8] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, DarAl-Misriyah, Kairo, 1946, hlm.92.
[9] C.A. Qadr, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, hlm.  67-68.
[10] Ibid,. Hlm. 68.
[11] Qadir,op, cit., hlm. 70.
[12] Ibid., hlm. 70 (Nasution, 1972: 69)
[13] bid., hlm. 70 (Nasution, 1972: 69)
[14] Al-Asy’ari, op, cit., hlm. 9; Nasution, op, cit., hlm. 69.
[15] Nasution, op, cit., hlm. 71
[16] Harun Nasution, op, cit., hlm. 87-88.
[17] Abu Zahrah, OP, CIT., HLM. 178-179; Nasution, op, cit., hlm. 88-89.
[18] Zahrah,op,cit., hlm. 179.
[19] Muhammad Qasim, l-i ilm Al-Kalam, Maktabah Al-Anglo Al-Mishriah, Kairo,1969, hlm. 70. ; Zahrah, op, cit,. Hlm. 183
[20] Nasution, op, cit., hal. 131-132.
[21] Al-Asy’ari, op, cit., hlm. 9; Nasution, op, cit., hlm. 69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar